Jumat, 28 Oktober 2011

KEADILAN SOSIAL - MENGEKALKAN PENDIDIKAN TRANSFORMASI: SARJANA PENDIDIKAN USIA DINI MENCIPTAKAN PRINSIP TRANSNASIONAL


Setelah mengikuti tsunami yang sangat merusak di Banda Aceh, Indonesia pada tahun 2004 dimana semua yang ada di sepanjang pantai hilang seorang pendidik usia dini yang terkemuka berkomunikasi untuk minta bantuan seorang sarjana. Dr. Ratna Megawangi seorang Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation meminta bantuan sekelompok sarjana yang kemudian meresponnya. Mereka membicarakan proses membangun kembali 2 Taman Kanak-kanak yang dalam narasi ini digambarkan bagaimana para sarjana menciptakan transformasi kurikulum transnasional pada proyek kelas khusus.

Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri bahwa kejadian dimasa lampau menyinari jalan kita dimasa depan. Kierkegaard mengingatkan kita pada hal tersebut. Pada saat ini hal tersebut diatas sering diabaikan dalam memahami bagaimana hidup sekarang ini menuju masa depan. Oleh karena itu pandangan ini tidak dapat diterapkan dalam pendidikan transformasional. Transformasional didefinisikan sebagai kurikulum yang dirancang untuk mendorong siswa peduli dengan sesama dan membuat perbedaan didunia (Aldiridge & Goldman, 2007). Perjanjian dengan aksi sosial akan menciptakan suatu jendela masa lampau yang menimbulkan memori. Untuk memahami secara menyeluruh tentang kewarganegaraan siswa dikembangkan sebagai pelajar responsif yang berpartispasi dalam memperhatikan kebutuhan orang lain. Keterlibatan dalam aksi sosial membuka pintu refleksi.

Tinjauan Literatur
Pengumpulan kembali keterlibatan aksi sosial adalah pembangunan dasar dan menciptakan kumpulan sejarah yang menawarkan kepada siswa suatu alat yang tidak hanya untuk memahami waktu sekarang ini ketika membentuk hukum moral namun juga memimpikan peran masa depan kewarganegaraan global atau seringkali disebut dengan transnasionalisme. Transnasionalisme adalah kewarganegaraan yang mencakup komunitas lokal, nasional, dan internasional. Melalui proyek aksi sosial yang mempengaruhi perubahan secara global siswa mengembangkan kepekaan kewarganegaraan dan menghadapi identitas (Banks 2008; Knight-abowitz & Harnish, 2006).

Nussbaum (2002) menambahkan bahwa pendidikan ilmu kewarganegaraan adalah alat pendidikan bagi guru untuk mengembangkan beberapa kemampuan, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai siswa yang secara efektif digunakan dalam komunitas mereka. Ini adalah sekolah asli (Sprague Mitchell, 1934). Terlebih Nussbaum menyatakan bahwa tidak hanya didalam komunitas lokal yang menjadi focus siswa namun juga meningkatkan konsep mereka akan perluasan ide milik negara, daerah, bangsa, dan komunitas global.

Jika guru berencana dan menerapkan kurikulum aksi sosial, sangat penting bagi mereka untuk memberikan model konsep pendidikan kewarganegaraan secara transformatif dan kritis. Mempromosikan hal-hal ideal dari demokrasi, aksi kewarganegaraan, dan aksi sosial transformasional memberikan banyak sekali kesempatan bagi siswa untuk merasakan kewarganegaraan yang mempunyai dimensi keadilan sosial dan secara bersamaan mempelajari semua hal tersebut. Pengalaman memberikan siswa kemampuan untuk menggambarkan karakteristik demokrasi. Siswa yang berperan pada aksi sosial adalag warganegara masa kini, dan masa depan (Banks, 2008; Dewey, 1916; Kincheloe, 2001; Osler, 2005). Jika siswa tidak mempunyai pengalaman pertama aksi sosial, akankah mereka memahami kenyataan kewarganegaraan atau memahami demokrasi?

Demokrasi. Demokrasi adalah adalah hal ideal yang mendasar di Amerika sayangnya hal-hal ideal dari demokrasi dilanggar. Ada jurang yang sangat besar antara menilai demokrasi dan kenyataan keragaman masyarakat di Amerika. Rasisme masih ada di kebudayaan kita, persepsi klise (Savage & Amstrong, 1992; Sunal & Haas, 2008).

Sekolah menjadi tempat terakhir yang paling kurang demokratis di Amerika. Demokrasi jarang direncanakan, diimplementasikan, atau dievaluasi oleh guru. Rezim pembelajaran langsung diharapkan dan diorganisasikan oleh administrator. Pembelajaran kelas secara tradisional adalah usaha otokrasi. Inspirasi, kreativitas, dan kepandaian secara perlahan padam, sementara itu penjual buku teks mempromosikan tulisannya yang menjadi model pembelajaran behaviouris. Sayangnya situasi pembelajaran yang tidak asli ini menyebar ketika perusahaan buku mendapatkan jutaan dari penjualannya namun keterlibatan aksi sosial siswa dalam kewarganegraan semakin berkurang.

Pada akhirnya antara guru dan murid sama-sama kurang demokrasi dan kemudian tidak mempunyai keterampilan, tidak mempunyai moral, dan kemudian tidak terdidik karena dihujani oleh program-program tertulis dan instruksi-instruksi langsung. Pada intinya guru menjadi tidak professional (Aldridge & Goldman, 2007). Para pendidik hidup dalam kontradiksi dan paradok (Wink, 2005). Bagaimana masyarakat mengharapkan siswa menjelaskan demokrasi dan lulus dari sekolah yang membuat seseorang hidup dalam pengalaman yang tidak atau kurang berarti? Emansipasi dari pengajaran yang membatasi dan mempelajari lingkungan, guru dan siswa membutuhkan waktu ketika mengharapkan suatu kedaan yang lebih demokratis. Sehingga kebanyakan ketika siatuasi pendidikan saat ini kelihatan menakutkan bagaimana pendidik yang kritis menghadapi kontradisksi ini? Bagaimana pendidik moncoba pendekatan demokrasi untuk mengajar dan belajar adalah hati aksi sosial transformasional?

Aksi Sosial dan Ilmu Sosial. Salah satu solusi mendasar adalah menghubungkan guru ilmu sosial dan siswa dengan orang-orang serta organisasi dimana aksi sosial dapat membuat suatu perbedaan, hal tersebut menjadi konteks yang sangat berarti bagi siswa. Jika hal tersebut tercapai, keinginan dan hubungan sosial akan menjadi kebiasaan pikiran kita yang dapat menjadi perubahan sosial (Dewey, 1916). Membuat suatu perbedaan untuk orang lain menjadi aksi sosial transformasional baik dalam konteks lokal atau global. Ini menjadi inti ilmu sosial.

Aksi sosial transformasional dapat memberi peringatan bahwa pendidik cenderung mengajar seperti pemikirannya dengan cara membungkus mereka ketika lulus nanti. Sayangnya penggunaan buku teks dan dasar, meminta siswa menjawab pertanyaan dari bacaan dan juga mengerjakan lembaran kerja, dan kemudian menguji mata pelajaran yang diajarkan menjadi model pendidikan saat ini. Fokusnya ada pada tulisan, angka dan penilaian. Pandangan melingkar saat ini yang dibuat oleh penentu kebijaksanaan mendorong guru membuat suatu panggung bagi siswanya dan mereka hanya terhubung dengan satu arah saja, instruksi akademik untuk mengeluarkan pembelajaran bagaimana bertanggung jawab secara sipil atau global (Beaty, 2004; Katz, 1996).

Menyiapkan anak-anak untuk keberhasilan pendidikan masa depan dan hanya berkonsentrai pada fungsi kognitif pada level dasar seperti menghafal dan mengingat kembali, kreatif, refleksi verbal kritis yang secara natural terjadi membuat anak-anak dengan kemampuan-kemampuan penting berhenti berkembang. Dengan tekanan akademis yang lebih daripada penemuan dunia sekitar mereka para pelajar kehilangan kesempatan emas untuk mengembangkan arti, mengembangkan bahasa, dan mengiterpretasikan pengalaman sosial, emosi, dan kognitif. Kincheloe (2001) menjelaskan bagaimana memposisikan ilmu sosial pada level apapun dapat bersifat menantang dan menghasilkan aksi sosial. Konsepnya melibatkan pengajar yang membantu siswa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sosial agar dapat menganalisa dan membangun dirinya sendiri serta pengetahuan sosial melalui keterlibatannya di aksi sosial.Oleh karena hal tersebut siswa mempunyai alat kognitif untuk menanyakan pertanyaan dan menegarahkan dirinya sendiri. Sangat aneh bahwa ada beberapa pengelola sekolah sepertinya tidak peduli bahwa pusat pelatihan demokrasi ada di sekolah.

Jika siswa terlibat dalam pendidikan yang berorientasi aksi sosial transformasional, siswa memperhatikan kepemilikan sipil mereka pada level global dan lokal. Demokrasi menjadi asli, aktif, dan menantang (Sunal & Haas, 2008). Siswa bersama dengan pengajarnya memprediksi bagimana aksi sosial berhubungan dengan keadilan dan kesetaraan . Ini adalah satu cara bagaimana aksi sosial memungkinkan (Kincheloe, 2001).Konseptualisasi diatas menjadi dasar studi ini. Pertanyaan yang muncul adalah Bagaimana guru memasuki tugas para sarjana pendidikan usia dini untuk mengubah kurikulum membaca dan diskusi menjadi transnasional, proyek aksi sosial transformasional?

Metode
Desain naratif, interpretatif dipilih dalam studi kualitatif ini (Denzin, 1989). Sebagai peniliti, kami mencari pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa yang masuk dalam tugas menciptakan kurikulum transformatif, aksi sosial dan transnasional melalui proses proyek kelas pilihan yang diterapkan pada kelas membaca. Kami mencari kepastian cara 12 pengajar/sarjana sebagai partisipan mengkarakteristikkan bagaimana kemajuan mereka dalam membuat keputusan tentang proyek penciptaan transnasional setelah membaca masalah pendidikan transformatif

Setelah mengumpulkan data kami memutuskan desain studi kasus mungkin menjadi metode yang lebih baik untuk menginterpretasikan temuan dan menjelaskan bagaimana kami memahami masalah saat ini pada suatu mata kuliah. Studi kasus berjalan pada tiga prinsip: menggambarkan, memahami, dan menjelaskan (Yin, 1989). Dengan menggunakan metode studi kasus para peneliti mencoba memberikan pengalaman yang seperti nyata kepada para pembaca (Merriam, 1998). Diskripsi adalah usaha menjelaskan degan jelas sebuah narasi kepada pembacanya. 12 partisipan diatur dalam sebuah studi kasus dengan inti masih desain penelitian naratif.

Partisipan
Partisipannya adalah 12 orang peneliti yang masuk dalam program sarjana pendidikan usia dini di Universitas Southeastern. Mereka semua adalah peneliti veteran. Untuk meneliti pertanyaan peneliti pada studi ini, para peneliti merancang dan menganalisa studi secara terperinci. Nama samaran digunakan pada semua siswa dengan pengecualian Marcie Hill seorang siswa dalam kelas, anggota pengecekkan, dan asisten penulis untuk studi ini.

Kumpulan Data
Guru partisipan memberikan respon pada papan diskusi elektronik. Interaksi email , foto, artikel koran, catatan lapangan, dan jurnal reflektif disimpan oleh peneliti dan partisipan. Rekapitulasi tertulis yang dilakukan oleh anggota kelas mengenai “cultural capital” dan tugas akhirnya dikumpulkan oleh guru partisipan dijadikan sebagai kumpulan data

Analisa Data
Para peneliti menggunakan metode interpretif dan induktif untuk menganalisa kumpulan data. Peneliti berulangkali membaca setiap data. Secara independent dan bekerjasama kami mengembangkan kode awal atau menggolongkan data (Denzin, 1989). Untuk mengidentifikasi tema yang penting pada data, kami menggunakan elemen penggelompokkan dan mengkatagorikan mereka sampai kami memutuskan tema untuk kami bertiga. Penekanan kata yang berkode adalah skema yang digunakan untuk mengidentifikasi tema.

Para peneliti menggunakan studi kasus dengan pendekatan naratif namun juga menggunakan data kedalam analisa interpretif. Yin (1994) menekankan bahwa peneliti studi kasus beroperasi sebagai rekan penyelidik pada saat mata kuliah pengumpulan data. Proses dimulai dari masalah dan diikuti dengan pengembangan studi kasus. Metode studi kasus digunakan untuk meneliti situasi saat ini yang beragam dan memberikan dasar bagi aplikasi ide dan pengembangan metode. Peneliti Yin (1994) mendefinisikan studi kasus sebagai permintaan metode sistematis empiris yang digunakan oleh peneliti untuk menyelidiki fenomena kontemporer pada konteks asli, terutama ketika batasan antara fenomena dan konteks bukan menjadi bukti yang jelas. Metode ini kelihatannya sangat sesuai untuk kumpulan data dengan interaksi antara para sarjana/guru veteran, dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF) Dr. Ratna Megawangi. IHF adalah organisasi non pemerintah, politik, agama yang mencari untuk menyiapkan pengajar agar sesuai dengan program usia dini diseluruh Indonesia. Area focus utamanya pada proyek transnasional adalah Banda Aceh yang menjadi area terparah pada tsunami 26 desember 2004.

Untuk mempromosikan kepercayaan, Lincoln danGuba (1985) menyarankan suatu prosedur untuk membuat daftar orang luar yang mengaudit catatan lapangan dan analisa serta interpretasi yang berkelanjutan. Triangulasi antara data dan literature telah selesai. Anggota mengecek yang terjadi dengan ketepatan setengah partisipan yang ada dalam kelompok untuk memastikan validitas data (Lincoln & Guba, 1985). Marcie Hill mengumpulkan semua posting elektronik antar 10 orang temannya/guru veteran dan Dr. Megawangi mengenai proyek sekolah Banda Aceh. Dia membaca dan mengomentari analisa dan makalah akhir. Marcie Hill menyimpan kumpulan data posting email dan membagikan kumpulan data pada kami untuk menganalisa tujuan dan makalah penelitian ini.

Temuan
Dimulai dengan proses membaca dan membaca ulang kumpulan data mentah kami mengelompokkan data dan membentuk katagori awal serta kemudian pada akhirnya mengidentifikasikan pola serta tema akhir (denzin, 1989; Yin, 1994). Para peneliti dan Marcie Hill menyepakati tema yang sudah diidentifikasi secara induktif. Bagaimanapun juga anggota pengecek yang lain menguatkan analisa dan mengidentifikasi tema seperti halnya memberikan tema ketahanan inter-rater.

Empat tema bisa diidentifikasi dari data yang sudah dianalisa. Studi kasus dianalisa seperti halnya data mentah. Tema yang diidentifikasi adalah sebagai berikut: Niat untuk Merubah, Menghargai Modal Kultural, Rencana untuk Merubah, dan Melakukan Aksi. Meskipun kami mencoba untuk memberikan pengalaman yang seperti nyata tentang bagaimana suatu kasus dibuka dan menjadi proyek aksi sosial transformasi yang fenomenal, pengalaman yang teringat oleh partisipan akan membayangi usaha edukatif mengabadikan aksi sosial transformasional kedalam kurikulum sekolah dasar mereka dimasa depan. Oleh karena itu pembaca bisa mendapatkan bagaimana para sarjana mendapatkan pengalaman serta merefleksikannya, dan mengabadikan proyek aksi sosial pada saat mengajar. Karena pengalaman mereka yang sangat mendalam dan komponen kelas yang reflektif pengajar veteran yang menjadi partispan melihat nilai untuk melakukan aksi kewarganegaraan dan dalam proyek transnasional bagi siswanya pada saat mengajar.

Niat untuk Merubah. Pada kenyataan bahwa hampir 1,000 guru meninggal atau hilang pada saat tsunami di Banda Aceh Indonesia akhir bulan Desember tahun 2004. Para guru yang selamat menderita gangguan stress traumatis karena kehilangan anak, suami, orang tua, keluarga, saudara, dan teman-temannya. Situasi ini sangat parah. Anak-anak yang mengalami bencana tsunami di Banda Aceh masuk sekolah kembali satu bulan kemudian. Bencana yang utama adalah sebuah sekolah mempunyai 250 siswa. Menurut Dr. Megawangi satu bulan setelah tsunami tersebut mengatakan bahwa “Hanya 2 siswa yang datang pada hari pertama sekolah “. Kebanyakan sekolah di Banda Aceh mengalami kondisi yang sama. Informasi ini disampaikan melalui email dari Dr, Megawangike Marcie Hill.Marcie adalah koresponden utama dari mata kuliah para sarjana.
Kelas para sarjana yang terdiri dari 12 orang pengajar mempunyai niat untuk melakukan sesuatu bagi siswa di ujung dunia lain. Memasuki musim semi 2005 di “EDC 720 Problems and Issues,” setelah tsunami Aceh Dr. Aldridge mengenal pendidik usia dini terkenal Dr. Ratna Megawangi (IHF). Dia menjadi pengikat virtual antara Marcie dan para sarjana/guru veteran. IHF terlibat pada pembangunan dan mendorong kualitas program taman kanak-kanan diseluruh Indonesia termasuk pesisir pantai Banda Aceh. Para sarjana pendidikan usia dini termasuk Dr. Aldridge mengetahui bahwa untuk mengepak bahan ajar, buku, dan sumber-sumber yang lain akan memakan banyak waktu dan mungkin tulisannya tidak berbahasa Indonesia, Melayu, atau bahasa lain yang digunakan di Banda Aceh. Hal tersebut bukanlah menjadi pilihan untuk bantuan darurat.

Untuk mempromosikan kepercayaan, Lincoln dan Guba (1985) menyarankan prosedur untuk mendaftar luar catatan lapangan "audit" dan analisis berikutnya dan interpretasi. Triangulasi antara data dan dengan literatur itu dilakukan. Anggota cek terjadi dengan kira-kira setengah dari peserta dalam kelompok untuk memastikan validitas data (Lincoln & Guba, 1985). Marcie Bukit mengumpulkan semua posting elektronik asinkron antara 10 nya rekan / guru veteran dan Dr Megawangi dan tentang proyek sekolah Banda Aceh. Dia membaca dan mengomentari analisis dan pada kertas akhir. Marcie Bukit menyimpan data set posting email dan berbagi data set dengan kami untuk tujuan menganalisis dan makalah penelitian ini.

Penghormatan untuk modal budaya. Meskipun kami memperingatkan mahasiswa pascasarjana kami untuk secara khusus dokumen yang tema diidentifikasi dan tidak ajaib muncul, tema ini memang tampaknya muncul seperti yang mudah untuk mengidentifikasi. Modal budaya segudang tanggapan yang dihasilkan karena, sebagai sebuah kelas, para guru veteran memutuskan untuk kolektif menulis kertas dengan referensi dari teori kritis tentang bagaimana bekerja dengan keluarga-keluarga tertinggal di masyarakat dan bagaimana membuat modal budaya prioritas. Melalui posisi mereka menghormati, mereka ingin menghormati ibukota budaya masyarakat di Banda Aceh. Mereka belajar bahwa modal budaya membantu pelajar muda sangat karena menunjukkan rasa hormat dan pengertian bagi mereka dan keluarga mereka, dan mahasiswa pascasarjana menyadari banyak dari apa yang (1988) wawasan Greene mengungkapkan: Tujuan utama dari belajar adalah untuk membantu siswa dan guru menciptakan makna dalam kehidupan mereka. Guru harus menantang "diambil untuk diberikan," yang diberikan, terikat, dan terbatas. Pengetahuan tumbuh dari keyakinan yang telah mengalami refleksi. Kita harus membangkitkan dalam rangka untuk melanjutkan upaya kami untuk membangun sebuah saja, kasih sayang, dan demokrasi bermakna. Tujuan pendidikan: memiliki anak datang untuk memahami bahwa belajar adalah untuk mengembangkan bakat intelektual mereka. Teori pengetahuan adalah segala sesuatu yang membantu kita untuk mengetahui diri kita sendiri dan di dunia di mana kita hidup. (Hlm. 54-69) Setelah Marcie menghubungi Dr Retna Megawangi melalui email tentang apa yang dia lihat sebagai kebutuhan yang paling mendesak, ia menjawab bahwa begitu banyak anak dan guru menderita depresssion dan post-traumatic stress. Setiap informasi tentang bagaimana untuk menangani dengan baik dari titik pandang anak atau cara-cara untuk membantu orang dewasa akan sangat membantu. Dia tidak punya waktu untuk mencari informasi ini. Berurusan dengan hari-hari adalah menjaga agar tekanan begitu sibuk dan lelah. Mengambil pemikiran yang menonjol dari karya Posner (1992), para peserta guru direkam pikiran-pikiran penting: Siswa adalah bagian dari sebuah realitas budaya dan linguistik. Semua pengetahuan dihargai. Tujuan untuk kelas ini adalah untuk membangun selfesteem untuk hidup. Peran guru adalah untuk berkomunikasi minat dan kesediaan untuk menggabungkan realitas siswa ke dalam kurikulum. Guru datang menjadi tahu dan menjadi aktif dalam masyarakat di mana mereka mengajar. Dalam pertukaran email awal antara Hill dan Dr Marcie Megawangi, Marcie wrote: Harap diingat bahwa kami [kelas anak usia dini pascasarjana] ingin peka terhadap budaya orang-orang Anda. Kami mengirimkan hal-hal yang guru dan orang tua gunakan di sini di Amerika Serikat. Mereka mungkin atau mungkin tidak sesuai untuk Anda, siswa Anda, dan kebutuhan Anda. Kami harap Anda mengerti. Karena studi pedagogi kritis, mahasiswa pascasarjana anak usia dini menyadari dan mengambil hati-hati mempertimbangkan ibukota budaya masyarakat. Mereka tahu bahwa penderitaan keluarga begitu cepat terpecah di Banda Aceh mungkin perlu sesuatu yang sangat berbeda dari orang di sini di Amerika Serikat.

Rencana untuk perubahan. Sebagai Marcie adalah anggota kelas yang dipilih ke email Dr Megawangi, ia harus menjelaskan kepadanya betapa tak berdaya kelas merasa. Namun, mereka tidak berpikir tentang pengiriman bahan-bahan untuk membantu anak-anak dalam keadaan kesedihan tak tertahankan karena kehancuran yang mengerikan. Dalam interaksi email, Dr Megawangi menyarankan bahwa mahasiswa pascasarjana bisa mencari dan mengirim situs yang tepat untuk anak-anak dalam kesedihan dan trauma. Waktu mulai cepat menjadi hambatan besar bagi Dr Megawangi untuk menghadiri untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, sehingga memiliki bantuan dari mahasiswa pascasarjana di AS akan menjadi sarana yang sangat efektif untuk membantunya. Dr Megawangi juga dengan rendah hati meminta bahan-bahan untuk membantu anak-anak muda untuk mengatasi kesedihan dan trauma karena ia juga berencana untuk menyiapkan guru-guru anak usia dini yang tertinggal untuk membantu anak-anak terkena di Banda Aceh. Dia juga ingin membantu para guru yang mengalami kedalaman kesedihan bagi keluarga mereka dan siswa mereka. Ini adalah potongan singkat dari email Dr Megawangi: Ini mengerikan. Karena kami tidak memiliki pengalaman untuk mempersiapkan para guru untuk menangani anak-anak dengan pengalaman tsunami traumatis, saya ingin mendapatkan beberapa informasi tentang kegiatan khusus / bermain untuk anak-anak di kelas (terapi bermain di ruang kelas) dan informasi lain bagaimana menangani anak traumatis. Kami akan melatih guru-guru TK dan SD. Jika Anda bisa mengirim kami bahan-bahan kepada kami, itu akan sangat dihargai. Email ini dibaca berulang-ulang. Set pertama bahan internet dikirim dari mahasiswa pascasarjana itu dari daftar Universitas Tufts situs yang sangat direkomendasikan untuk membimbing Dr Megawangi. Menariknya dan kebetulan, Dr Megawangi mencatat dalam email berikutnya kembali ke Marcie Bukit bahwa ia meraih gelar PhD di Tufts University. Dia senang tentang fakta bahwa set pertama bahan berasal dari almamater nya. Dia menanggapi Marcie, "Saya terkejut bahwa Tufts telah itu, karena aku mengambil saya MA dan gelar PhD di Tufts University." Dia senang dengan informasi dan berbicara tentang kegunaannya. Para mahasiswa pascasarjana mengambil ini sebagai suatu tanda yang menakjubkan bahwa mereka di jalur yang benar. Mereka melihat ini sebagai sinkronisitas. Apa yang mereka lakukan adalah memang diperlukan transnasional, aksi sosial transformatif.

Mengambil tindakan. Selanjutnya, dua belas mahasiswa pascasarjana anak usia dini mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok kecil. Satu kelompok mencari bahan di situs Web yang akan membantu Dr Megawangi. Lain pratinjau mereka, disaring lagi situs untuk memastikan bahwa masing-masing sesuai dengan tahapan perkembangan, berguna, dan budaya sensitif. Setelah bahan yang dianggap cocok, bahan atau website yang dikirim ke Marcie yang kemudian disintesis material dan dikomunikasikan website untuk Dr.Megawangi. Mereka ditargetkan usia anak-anak dari pra-TK sampai usia dua belas. Satu situs web tertentu, Diambil Bersama, menawarkan sumber daya serta tinjauan literatur tentang penggunaan seni sebagai sarana untuk berurusan dengan kesedihan pada anak-anak. Presentasi PowerPoint, menggambar mandala, dan menciptakan kotak memori hanya beberapa ide terapi dijelaskan di situs web dengan ahli. Di Scholastic. com, para peserta lulusan menemukan salinan dari artikel sebelumnya diterbitkan dalam Majalah Instruktur dan ditulis oleh Dr Bruce Perry. Mereka pikir ini sangat menonjol. Begitu pula Dr Megawangi. Akhirnya, website lain yang sangat membantu terhadap keinginan Dr Megawangi untuk membantu guru dan siswa berurusan dengan duka disebut Beyond Indigo. Situs rumah banyak link dimana informasi baik yang tersedia untuk membantu menangani orang dengan kesedihan. Sungguh, ini tidak signifikan dengan besarnya kebutuhan sehari-hari menekan dia dapatkan. Setelah proyek ini awal terpenuhi, mahasiswa pascasarjana/ peserta brainstorming cara-cara lain untuk membantu Dr Megawangi dan rekan-rekannya untuk membangun kembali program pendidikan guru. Para mahasiswa pascasarjana meminta Dr Megawangi untuk mengirim permintaan lebih lanjut ia karena mereka masih ingin membantunya dengan perselisihan yang sedang berlangsung bahwa dia diekspresikan melalui email ke Marcie. Ketika Dr Megawangi mengirimkan proposal ke kelas pascasarjana untuk membangun TK Semai Benih baru yang disebut Bangsa dan diterjemahkan "Menanam Benih Bangsa," diendapkan judul tawa kecil, karena ide pertama tentang pengiriman benih, dan sekarang biji dimaksud taman kanak-kanak nyata. Proposal lima halaman itu ringkas dan terperinci. Pada awalnya, tampaknya luar biasa. Hal ini cukup mengejutkan bagi mahasiswa pascasarjana untuk menerima proposal untuk membangun sekolah, terutama gagasan mereka sekolah. Tapi begitu Ulasan, lulusan kelas guru adalah percaya total pada betapa kecilnya uang AS benar-benar diperlukan untuk hanya memenuhi permintaan proposal. Ide dan kegembiraan berlimpah. Ini adalah solusi pertama untuk masalah ini. Setiap Juni, universitas tenggara di mana mahasiswa pascasarjana menghadiri memiliki membaca tahunan dan konferensi lembaga / menulis. Salah seorang mahasiswa pascasarjana mengusulkan mereka bisa mengumpulkan dana pada konferensi dari peserta konferensi yang hadir. Mereka melakukannya. Dan mereka benar-benar melakukannya! Selain itu, sekelompok gadis muda dalam kelompok matematika memberikan kontribusi melalui aksi sosial mereka, proyek transnasional. Jumlah total yang diperlukan untuk sekolah itu dicapai. Bahkan, itu sudah berakhir tercapai, karena donor murah hati lainnya. Kelas dikirim cukup uang untuk Dr Megawangi sehingga ia dan pondasi nya bisa membangun dua sekolah di Banda Aceh, Indonesia. Kedua sekolah diberi nama untuk orang-orang di daerah kami. Satu bernama untuk 96 ibu profesor itu tentu saja tahun dan yang lainnya untuk yang lain profesor penuh-yang mendirikan institut / konferensi di mana konferensi itu membuat sumbangan substansial untuk membangun sekolah-sekolah.

Diskusi
Ini kisah sukses transnasional, aksi sosial transformatif melahirkan lulusan peserta untuk melaksanakan penelitian sosial transformasional/ aksi sosial pembelajaran ke dalam kurikulum sekolah dasar mereka. Marcie Bukit mengajar di daerah pedesaan timur laut dari wilayah metropolitan besar di mana universitas tenggara terletak Dia terlibat siswa dalam diskusi tentang apa yang dicapai rekan pascasarjana nya karena hanya 12 siswa. Siswa fourthgrade nya memulai proyek aksi sosial seperti drive makanan untuk siswa kemiskinan di komunitas sebelah. Kelasnya disponsori kampus Program bersih-bersih. Sejak Marcie memiliki anggota keluarga yang bertugas di Irak, herstudents brainstorming cara-cara di mana mereka bisa membantu dia dan pasukannya. Hal ini mudah untuk membayangkan bahwa pengalaman menjadi warga lokal atau global dan mengambil aksi sosial transformatif bercabang menjadi mahasiswa pascasarjana / ruang kelas guru. Contoh-contoh ini dipenuhi ekspresi masa lalu Dewey (1916) dan teori kontemporer dan Kincheloe Tobin (2005) bahwa ilmu sosial siswa mulai dengan berefleksi pengalaman kewarganegaraan dalam tindakan. Mereka kemudian bergerak di luar dengan memberlakukan kewarganegaraan global dan pedagogi transformasional yang kontekstual terhubung ke demokrasi dan manusia.

Temuan
Para mahasiswa pascasarjana dijelaskan mengajar mereka, namun, tidak semua berada di tingkat transformasional. Empat masih digambarkan lebih dari transaksi dan model kewarganegaraan mengajar. Untuk sebagian besar, lebih dari setengah (n = 8) Namun, dijelaskan transformatif, proyek-proyek aksi sosial di mana mereka tenggelam mahasiswa mereka ke dalam dan tercermin pada pengalaman. Dari pengalaman mereka didokumentasikan, para peneliti proyek bahwa mahasiswa pascasarjana akan lebih yakin untuk memberlakukan ajaran transnasional untuk aksi sosial transformatif. Para mahasiswa pascasarjana/ guru diucapkan bagaimana mereka melihat diri mereka sebagai warga dunia dengan peran penting untuk bermain untuk kebaikan umat manusia. Setelah refleksi lebih lanjut mengenai tindakan sosial transnasional, mereka menggambarkan bagaimana membawa mereka untuk membenamkan mereka ke dalam proyek-proyek siswa aksi sosial (Dewey, 1916; Fullinwider, 1991; Kincheloe, 2005). Peserta menggambarkan bagaimana, dalam perkiraan mereka, siswa SD mereka akan menjadi pelayan yang lebih baik untuk teman sekelas dan tampak berbicara dalam hal yang lebih welas asih terhadap orang lain selama belajar topik di kelas. Tampaknya seolah-olah video yang lebih tua, Pay It Forward, datang langsung ke pikiran.

Implikasi
Dilibatkan dalam aksi sosial transnasional dan transformatif adalah penting jika peserta didik untuk menjadi warga, kompeten yang dewasa (Bank, 2008; Knight-Abowitz & Harnish, 2006). Namun, keterbatasan dan variabel masuk ke dalam setiap konteks seperti mengapa dan bagaimana sebagian besar peserta bergerak dari tingkat kewarganegaraan tindakan transformasi sosial pada tingkat transnasional karena pengalaman perendaman.
Sulit untuk menentukan apakah persimpangan situasi hidup, kursus-kursus lain yang diambil selama program pascasarjana mereka, kedalaman refleksi, atau variabel tak terduga lainnya terinspirasi guru lulusan/ peserta untuk memberlakukan pedagogi transformasional dalam kurikulum sekolah mereka karena pengalaman dalam program pascasarjana mereka.
Cara lain, untuk sebagian besar, para peserta lulusan diperluas dalam memberlakukan dan mengabadikan aksi sosial transformatif/ pedagogi transnasional. Proyek dengan Dr Megawangi di Banda Aceh adalah akibat dari bencana. Kadang-kadang, kita duduk dalam kenyamanan bertanya-tanya apa yang bisa kita lakukan untuk membantu daripada mengirim uang. Dalam hal ini, 12 mahasiswa pascasarjana di education, dan Dr Aldridge diundangkan aksi sosial transnasional untuk membuatnya mungkin untuk memenuhi permintaan, sederhana namun diperlukan oleh Dr Megawangi untuk membantu peserta didik anak usia dini dan guru mereka yang berada dalam situasi putus asa.
Perubahan sosial adalah lintas bangsa mungkin (Kincheloe, 2001), dan dua sekolah dibangun di Banda Aceh, Indonesia. Studi kasus tertentu mengabadikan prinsip-prinsip aksi sosial transnasional. Ini adalah contoh kasus. Pada dasarnya, hal itu terungkap dalam mode sinkronistis. Setiap orang yang terlibat menjadi bermakna terkait. Reproduksi aksi sosial transnasional terjadi di dalam ruang kelas dimana guru/ peserta membayangkan peran mereka sebagai tempat pelatihan untuk kewarganegaraan di, regional, nasional, dan lingkungan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar